Sabtu, 09 Feb 2008,
sumber: www.jawapos.com
SURABAYA - Persaingan tarif (lebih murah) di kalangan operator, terutama GSM (global system for mobile communication), mampu mendongkrak tajam pertumbuhan layanan voice (panggilan). Sebaliknya, hal itu menekan pertumbuhan layanan SMS (short message service).Menurut Liedya Andayani, Regional Sales Operation Manager East Java PT Excelcomindo Pratama Tbk, operator XL, tarif murah mengubah perilaku pengguna telepon seluler. Mereka tidak lagi berpikir panjang untuk komunikasi lewat panggilan, seperti sebelumnya.
"Ini akhirnya menyebabkan call traffic (lalu lintas panggilan) tumbuh cukup tajam," ujarnya seusai peluncuran promo gratis 120 SMS pelanggan XL Jempol kemarin (8/2).Dia menuturkan, perubahan perilaku konsumen itu berpengaruh pada komposisi pelanggan. Dengan tiga produk kartu (Jempol, Bebas, dan Xplor), saat ini XL memiliki 2,6 juta pelanggan di Jatim. Dua tahun lalu kontribusi pelanggan Jempol masih terbesar, yaitu 52 persen. Disusul Bebas 45 persen dan Xplor 3 persen. Saat ini, kata dia, pelanggan Bebas 67 persen, Jempol 32 persen, dan XPlor 1 persen. "Tahun lalu pelanggan Bebas tumbuh 153 persen, dan Jempol 7 persen," katanya.
Meskipun kontribusinya turun, dia menyebut segmentasi Jempol tak tergerus. "Volume maupun trafiknya tetap," imbuhnya.Lewat program baru, XL berharap bisa menjaga pelanggan Jempol tetap aktif. Terutama, di daerah seperti Madiun, Trenggalek, Magetan, Ponorogo, Ngawi, Pacitan, dan Madura yang menjadi kantong TKI. Selain layanan SMS, Jempol identik dengan telepon hemat ke luar negeri. "Segmen pelajar dan mahasiswa juga jadi fokus," katanya. (kia)
Tampilkan postingan dengan label Berita sumber Lain. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita sumber Lain. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 09 Februari 2008
Kamis, 20 Desember 2007
Telkomsel Bali Bantah Ingin Matikan Toko Voucher -detiknet
Selasa, 07/09/2004 16:35 WIB
Telkomsel Bali Bantah Ingin Matikan Toko Voucher
Gede Suardana - detikinet
sumber: http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2004/bulan/09/tgl/07/time/163528/idnews/204361/idkanal/112
Denpasar - PT Telkomsel belum mau memberi komentar soal somasi dari Asosiasi Teknisi dan Pengusaha Handphone Indonesia (Atekindo) Bali. Namun, mereka menegaskan tidak berniat mematikan toko atau outlet voucher.
"Kalau belum ada hitam di atas putih saya belum bisa komentar. Tapi kalau sudah ada saya akan melakukan konsultasi dengan bagian legal kita," kata Tavadi Rismayuda, General Manager Pelayanan dan Service PT Telkomsel Bali Nusra pada detikcom, Selasa (7/9/2004).
Menurut Tavadi, tudingan monopoli itu adalah versi dari Atekindo. Sistem penjualan voucher isi ulang pulsa bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan. Tidak ada maksud untuk mematikan toko-toko atau outlet pulsa isi ulang.
Selama ini, sistem penjualan voucher pulsa isi ulang Telkomsel melewati sebuah distributor utama (DU). Nantinya DU ini akan membentuk gerai dan M-Kios yang menjual harga voucher Telkomsel sesuai dengan harga banderolnya. Misalnya pulsa isi ulang seharga Rp 20 ribu akan dijual Rp 20 juta. Demikian juga pulsa Rp 50 ribu dijual dengan harga yang sama.
Jika dealer menjual voucher kartu seluler Telkomsel ke toko, maka harga banderol Rp 20 ribu bisa dijual berkisar Rp 22-24 ribu dan jatuhnya ke konsumen Rp 25-30 ribu. Sedangkan untuk voucher seharga Rp 50 ribu dijual ke toko Rp 52-57 ribu dan jatuh ke konsumen seharga Rp 55-60 ribu. Harga grosir voucher simpati ini selalu berubah setiap hari dalam satu minggu penjualan.
Tavadi mengaku sebelumnya sudah menempuh jalur damai untuk menyelesaikan masalah ini. Pihaknya mengajukan beberapa opsi tetapi tidak mendapat tanggapan dari Atekindo. Salah satu opsi adalah menawarkan toko-toko itu untuk menjadi anggota M-Kios (gerai) tetapi kurang mendapat tanggapan dari mereka.
Toko-toko yang menjadi anggota Atekindo menolak tawaran itu karena menganggap syarat menjadi anggota M-Kios cukup berat. Kalau untuk menjadi M-Kios setiap toko yang berformat M-Kios diberi target oleh pihak Telkomsel penjualan berupa voucher produk Telkomsel sejumlah 100 unit dalam waktu satu minggu.
Selain itu, toko handphone yang berformat M-Kios hanya boleh menjual voucher dari minimal dua operator seluler salah satunya Telkomsel. Merchandise dan umbul-umbul dan sarana promosi operator lain yang ada di setiap M-Kios harus dihilangkan atau ditiadakan diganti sarana promosi Telkomsel.
Seperti diberitakan, Asosiasi Teknisi dan Pengusaha Handphone Indonesia (Atekindo) Bali mensomasi PT Telkomsel dengan dugaan melakukan monopoli penjualan voucher isi ulang pulsa. ( tis )
Telkomsel Bali Bantah Ingin Matikan Toko Voucher
Gede Suardana - detikinet
sumber: http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2004/bulan/09/tgl/07/time/163528/idnews/204361/idkanal/112
Denpasar - PT Telkomsel belum mau memberi komentar soal somasi dari Asosiasi Teknisi dan Pengusaha Handphone Indonesia (Atekindo) Bali. Namun, mereka menegaskan tidak berniat mematikan toko atau outlet voucher.
"Kalau belum ada hitam di atas putih saya belum bisa komentar. Tapi kalau sudah ada saya akan melakukan konsultasi dengan bagian legal kita," kata Tavadi Rismayuda, General Manager Pelayanan dan Service PT Telkomsel Bali Nusra pada detikcom, Selasa (7/9/2004).
Menurut Tavadi, tudingan monopoli itu adalah versi dari Atekindo. Sistem penjualan voucher isi ulang pulsa bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan. Tidak ada maksud untuk mematikan toko-toko atau outlet pulsa isi ulang.
Selama ini, sistem penjualan voucher pulsa isi ulang Telkomsel melewati sebuah distributor utama (DU). Nantinya DU ini akan membentuk gerai dan M-Kios yang menjual harga voucher Telkomsel sesuai dengan harga banderolnya. Misalnya pulsa isi ulang seharga Rp 20 ribu akan dijual Rp 20 juta. Demikian juga pulsa Rp 50 ribu dijual dengan harga yang sama.
Jika dealer menjual voucher kartu seluler Telkomsel ke toko, maka harga banderol Rp 20 ribu bisa dijual berkisar Rp 22-24 ribu dan jatuhnya ke konsumen Rp 25-30 ribu. Sedangkan untuk voucher seharga Rp 50 ribu dijual ke toko Rp 52-57 ribu dan jatuh ke konsumen seharga Rp 55-60 ribu. Harga grosir voucher simpati ini selalu berubah setiap hari dalam satu minggu penjualan.
Tavadi mengaku sebelumnya sudah menempuh jalur damai untuk menyelesaikan masalah ini. Pihaknya mengajukan beberapa opsi tetapi tidak mendapat tanggapan dari Atekindo. Salah satu opsi adalah menawarkan toko-toko itu untuk menjadi anggota M-Kios (gerai) tetapi kurang mendapat tanggapan dari mereka.
Toko-toko yang menjadi anggota Atekindo menolak tawaran itu karena menganggap syarat menjadi anggota M-Kios cukup berat. Kalau untuk menjadi M-Kios setiap toko yang berformat M-Kios diberi target oleh pihak Telkomsel penjualan berupa voucher produk Telkomsel sejumlah 100 unit dalam waktu satu minggu.
Selain itu, toko handphone yang berformat M-Kios hanya boleh menjual voucher dari minimal dua operator seluler salah satunya Telkomsel. Merchandise dan umbul-umbul dan sarana promosi operator lain yang ada di setiap M-Kios harus dihilangkan atau ditiadakan diganti sarana promosi Telkomsel.
Seperti diberitakan, Asosiasi Teknisi dan Pengusaha Handphone Indonesia (Atekindo) Bali mensomasi PT Telkomsel dengan dugaan melakukan monopoli penjualan voucher isi ulang pulsa. ( tis )
Puluhan Pengusaha "Voucher" Tertipu
Puluhan Pengusaha "Voucher" Tertipu (sumber: Kompas 2004-http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/07/metro/1424657.htm)
Jakarta, Kompas - Puluhan pengusaha dan karyawan bisnis voucher (pulsa isi ulang) dari berbagai layanan jaringan telepon seluler, tertipu hingga lebih kurang Rp 70 miliar. Kasus dugaan penipuan tersebut sudah dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya pada Agustus 2004, tetapi hingga saat ini belum ada kejelasan penanganannya.
"Saya bersama sekitar 20 teman lain yang tertipu sudah melaporkan ke polda pada Agustus 2004. Kami belum dapat informasi apakah para penipunya sudah ditangkap atau belum," kata Hidayat Q Batangtaris (38), salah seorang pengusaha yang tertipu hingga Rp 7 miliar, Senin (6/12) siang.
Dari surat laporan yang diterima Kompas, kasus penipuan terhadap Hidayat tercatat dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan No Pol: 2988/K/VIII/2004/SPK Unit "II" tertanggal 17 Agustus 2004.
Dalam laporan tersebut tertera bahwa Hidayat telah tertipu uang senilai Rp 7 miliar oleh IP, pemilik PT BMM yang beralamat di Gedung Dana Pensiun Telkom di Jalan Penataran, Jakarta Pusat. IP sendiri sebelumnya menumpang di rumah orangtua korban di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Menurut Hidayat, warga Jalan Kota Bumi RT 09 RW 20 Tanah Abang, Jakarta Pusat, ia memulai bisnis voucher dengan IP sejak akhir Januari 2004. Ketika itu dia dijanjikan bisa mendapatkan keuntungan besar dengan membeli voucher, khususnya Simpati dan Mentari pada IP, karena harga di bawah standar.
Misalnya saja voucher Simpati isi 100.000 dijual dengan harga Rp 91.500. Padahal harga pasaran saat itu Rp 95.000. Simpati isi 50.000 dijual Rp 52.000, padahal dipasaran Rp 55.000. Untuk pulsa Mentari 100.000 dijual Rp 102.000, dan pulsa isi 50.000 dijual Rp 54.000.
"Karena ini bisnis menguntungkan, saya langsung pesan pertama 1.000 voucher dan ternyata untung," katanya.
Lama-lama Hidayat semakin banyak menanamkan modal dan mengajak teman-temannya ikut serta. Suatu ketika, IP mengusulkan kepada Hidayat dan teman-temannya agar langsung menerima keuntungan saja tanpa perlu menerima voucher. Untuk 1.000 voucher dapat untung bersih sekitar Rp 3 juta. Mereka pun setuju.
Baru pada bulan Agustus 2004, ada seorang pengusaha yang mengambil modal semuanya. IP kelimpungan. Namun, dia tetap meyakinkan kalau tidak ada masalah dan meminta kepada Hidayat dan teman-teman lain untuk terus menambah modal, kalau tidak, IP kena sanksi dari distributornya. Hidayat dan teman-temannya pun menambah modal. Ia sendiri sampai Rp 7 miliar.
"Usut punya usut, ternyata IP beli pulsanya bukan didistributor, tetapi di Roxi. Kalau begitu, dia memang sejak awal punya niat menipu, setelah berhasil meraup uang dari kami lalu kabur," kata Hidayat.
Menurut Aswin Muis yang tertipu bersama Beni Nugroho sebanyak Rp 2,8 miliar, mereka awalnya percaya karena IP berkantor di Gedung Pensiunan Telkom. Karyawannya banyak bahkan ada petugas satpamnya yang juga ikut tertipu.
"Total dana hasil menipu tersebut diperkirakan mencapai Rp 70 miliar. Jumlahnya puluhan orang. Vita, teman saya, bahkan rugi Rp 11 miliar," kata Hidayat yang dibenarkan Muis dan Beni.
Menurut Reni, kakak ipar IP, sejak bulan Januari 2004 tidak tinggal lagi di rumah mertuanya itu. "Saya tidak pernah lagi ketemu dan bisa berhubungan lewat telepon dengan dia. Saya juga ikut jadi korban karena menanamkan modal ke dia," katanya.
Reni menyatakan bahwa terkait kejadian tersebut, dia dan keluarganya merasa terteror. Padahal, dia tidak tahu persoalan bisnis itu karena dia juga menjadi korban. "Saya hanya bisa menyerahkan ke Allah," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metropolitan Jaya Komisaris Besar Tjiptono menyatakan, polisi masih menyelidiki dan mengusut kasus tersebut. (MAS)
Jakarta, Kompas - Puluhan pengusaha dan karyawan bisnis voucher (pulsa isi ulang) dari berbagai layanan jaringan telepon seluler, tertipu hingga lebih kurang Rp 70 miliar. Kasus dugaan penipuan tersebut sudah dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya pada Agustus 2004, tetapi hingga saat ini belum ada kejelasan penanganannya.
"Saya bersama sekitar 20 teman lain yang tertipu sudah melaporkan ke polda pada Agustus 2004. Kami belum dapat informasi apakah para penipunya sudah ditangkap atau belum," kata Hidayat Q Batangtaris (38), salah seorang pengusaha yang tertipu hingga Rp 7 miliar, Senin (6/12) siang.
Dari surat laporan yang diterima Kompas, kasus penipuan terhadap Hidayat tercatat dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan No Pol: 2988/K/VIII/2004/SPK Unit "II" tertanggal 17 Agustus 2004.
Dalam laporan tersebut tertera bahwa Hidayat telah tertipu uang senilai Rp 7 miliar oleh IP, pemilik PT BMM yang beralamat di Gedung Dana Pensiun Telkom di Jalan Penataran, Jakarta Pusat. IP sendiri sebelumnya menumpang di rumah orangtua korban di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Menurut Hidayat, warga Jalan Kota Bumi RT 09 RW 20 Tanah Abang, Jakarta Pusat, ia memulai bisnis voucher dengan IP sejak akhir Januari 2004. Ketika itu dia dijanjikan bisa mendapatkan keuntungan besar dengan membeli voucher, khususnya Simpati dan Mentari pada IP, karena harga di bawah standar.
Misalnya saja voucher Simpati isi 100.000 dijual dengan harga Rp 91.500. Padahal harga pasaran saat itu Rp 95.000. Simpati isi 50.000 dijual Rp 52.000, padahal dipasaran Rp 55.000. Untuk pulsa Mentari 100.000 dijual Rp 102.000, dan pulsa isi 50.000 dijual Rp 54.000.
"Karena ini bisnis menguntungkan, saya langsung pesan pertama 1.000 voucher dan ternyata untung," katanya.
Lama-lama Hidayat semakin banyak menanamkan modal dan mengajak teman-temannya ikut serta. Suatu ketika, IP mengusulkan kepada Hidayat dan teman-temannya agar langsung menerima keuntungan saja tanpa perlu menerima voucher. Untuk 1.000 voucher dapat untung bersih sekitar Rp 3 juta. Mereka pun setuju.
Baru pada bulan Agustus 2004, ada seorang pengusaha yang mengambil modal semuanya. IP kelimpungan. Namun, dia tetap meyakinkan kalau tidak ada masalah dan meminta kepada Hidayat dan teman-teman lain untuk terus menambah modal, kalau tidak, IP kena sanksi dari distributornya. Hidayat dan teman-temannya pun menambah modal. Ia sendiri sampai Rp 7 miliar.
"Usut punya usut, ternyata IP beli pulsanya bukan didistributor, tetapi di Roxi. Kalau begitu, dia memang sejak awal punya niat menipu, setelah berhasil meraup uang dari kami lalu kabur," kata Hidayat.
Menurut Aswin Muis yang tertipu bersama Beni Nugroho sebanyak Rp 2,8 miliar, mereka awalnya percaya karena IP berkantor di Gedung Pensiunan Telkom. Karyawannya banyak bahkan ada petugas satpamnya yang juga ikut tertipu.
"Total dana hasil menipu tersebut diperkirakan mencapai Rp 70 miliar. Jumlahnya puluhan orang. Vita, teman saya, bahkan rugi Rp 11 miliar," kata Hidayat yang dibenarkan Muis dan Beni.
Menurut Reni, kakak ipar IP, sejak bulan Januari 2004 tidak tinggal lagi di rumah mertuanya itu. "Saya tidak pernah lagi ketemu dan bisa berhubungan lewat telepon dengan dia. Saya juga ikut jadi korban karena menanamkan modal ke dia," katanya.
Reni menyatakan bahwa terkait kejadian tersebut, dia dan keluarganya merasa terteror. Padahal, dia tidak tahu persoalan bisnis itu karena dia juga menjadi korban. "Saya hanya bisa menyerahkan ke Allah," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metropolitan Jaya Komisaris Besar Tjiptono menyatakan, polisi masih menyelidiki dan mengusut kasus tersebut. (MAS)
Label:
Berita sumber Lain
Langganan:
Postingan (Atom)